laboratorium inspirasi komunikasi pemasaran bisnis & penulisan kreatif

Seni Argumentasi

Gara-gara Facebook, aku berubah sikap. Dulu, sampai sekitar pertengahan tahun 2013, tiap kali ditanya bagaimana caranya supaya terampil menulis, jawabanku kira-kira begini:

"Banyak-banyaklah menulis. Seperti keterampilan lainnya, alah bisa karena biasa. Bila sudah jadi kebiasaan, keterampilan itu akan tercapai sendiri tanpa kita sadari."

Apa kau mau tahu mengapa aku menjawab begitu? Mau jawaban yang jujur atau basa-basi?

Hmmm.... gimana, ya? Bila kujawab dengan jujur, aku takut menjadi takabur alias sombong. Tapi, biarlah. Aku mohon izin kepadamu, ya! Perkenankanlah aku bersombong-ria sebentar saja. Please....

Alah Bisa karena Biasa

Begini ceritanya. Pada zaman dahulu kala, saat aku masih berseragam SMA, hasil tes keidiotanku (yakni tes IQ-ku) menunjukkan, kecil sekali peluangku untuk sukses di bidang bahasa.

Aku pun tak heran. Memang, di pelajaran-pelajaran bahasalah nilaiku paling rendah. Apalagi pada tes pelajaran mengarang; aku selalu paling terakhir menyelesaikannya, padahal kata-kata yang kutuliskan paling sedikit dibanding para pesaing.

Tak pernah terbayang olehku saat itu bahwa akhirnya aku bisa menjadi penulis dan menghasilkan buku bestseller. Tak pernah pula terbayang olehku bahwa ada diantara karya tulisku yang diterjemahkan dan dikoleksi oleh beberapa perpustakaan ternama di luar negeri.

Namun akhirnya, terjadilah yang tak terbayangkan itu.

Kok bisa, ya?

Ya bisa, dong. Alah bisa karena biasa.

Kebetulan aku ini terbiasa bersikap cuek. Biarpun guruku, kawanku, atau pun keluargaku memandang rendah tulisan-tulisanku, aku terus saja menulis. Walau sebagian orang tampak merasa tersinggung oleh tulisanku, memusuhiku, sampai ada yang mengancam hendak merenggut nyawaku, aku masih nekat menulis "sebanyak-banyaknya".

Begitulah. Memang dramatis. Asal kau tahu, bila dulu aku merasa perlu mengedit karya-karya tulisku sampai belasan kali, itu pun di tempat sunyi, kini aku bisa menulis sekali jadi meski di tengah keramaian.

Nah! Aku hebat, 'kan? Hehe... Alah bisa karena biasa. ;)

Buruk Muka, Cermin Dibelah

Ngomong-omong, detik ini kau masih betah menyimak kata-kataku? Syukurlah. Terimakasih atas kedewasaan sikapmu dalam menghadapi kesombonganku dan keidiotanku.

Terus-terang, aku merasa tidak hebat. Aku idiot.

Tahun 2013 itu, Facebook telah menghentak kesadarkanku. Aku jadi sadar betapa tulisan-tulisanku di situ, dan di tempat-tempat lain, bagaikan SAMPAH yang berserakan di mana-mana.

Memang, kalau aku masih diperkenankan untuk bersombong-ria, dapat kukatakan bahwa tulisanku kini tampak jauh lebih komunikatif daripada semasa SMA. Namun ijinkanlah aku untuk juga berburuk muka, cermin dibelah.

Aku pikir-pikir, tulisanku semasa remaja itu relatif lebih berbobot, mengingat statusku sebagai pelajar. Sekarang, mengingat bahwa aku dijuluki profesor, tulisan-tulisanku kini tidak lebih baik daripada LIMBAH yang mencemari masyarakat.

Kini, andai ditanya bagaimana caranya supaya terampil menulis, sedihlah diriku. Hik.. hik.... :( Ingin rasanya aku berdiam-diri, tak lagi menulis, daripada menjadi sampah masyarakat. Tapi aku tahu, tidak ada orang yang memberiku hak untuk membisu. Maka dari itu, aku perlu melakukan sesuatu.

Satu-satunya Solusi

Karena aku seorang profesor yang idiot, satu-satunya solusi yang terpikir olehku adalah belajar dan belajar lagi.

Lagi?

Iya.

Lantas, belajar menulis lagi dari mana?

Dari nol.

Maksudku, dari Dasar-dasar Penulisan. Maksudku, dari matakuliah Seni Argumentasi. Maksudku, dari buku kuliah karya Andrea Lunsford, John Ruszkiewicz, dan Keith Walters, Everything's An Argument, 6th Edition (Boston: Bedford/St. Martin’s, 2013).

Berdasarkan pelajaran-pelajaran di situ, baik secara langsung maupun tak langsung, hendak aku sampaikan kuliah-kuliah di blog ini, dengan label "Seni Argumentasi". Mengenai susunan kuliah-kuliah kita ini, aku pun mengikuti jejak buku kuliah tersebut. Hanya saja, untuk mempermudah pembelajaran, di bagian awal kami tambahkan terjemahan satu bab dari buku kuliah Dorothy Seyler, Read, Reason, Write, Edisi 10 (McGraw-Hill, 2012), yaitu Bab 1, "Writers and Their Sources".

Daftar Isi Matakuliah "Seni Argumentasi"

  1. Membaca & Memahami Argumentasi: [1] Penulis dan Sumber-sumber Penulisan; [2] Segala Sesuatu Itu Argumentasi; [3] Argumentasi Berdasarkan Perasaan; [4] Argumentasi Berdasarkan Watak; [5] Argumentasi Berdasarkan Fakta dan Nalar; [6] Sesat-pikir dalam Argumentasi; [7] Analisis Retoris.
  2. Menulis Argumentasi: [8] Menyusun Argumentasi; [9] Argumentasi Fakta; [10] Argumentasi Definisi; [11] Argumentasi Evaluasi; [12] Argumentasi Sebab-Akibat; [13] Argumentasi Proposal.
  3. Gaya Bahasa & Presentasi Argumentasi: [14] Gaya Bahasa dalam Argumentasi; [15] Argumentasi Visual dan Multimedia; [16] Presentasi Argumentasi.
  4. Penelitian & Argumentasi: [17] Argumentasi Akademik; [18] Mencari Bukti Empiris; [19] Mengevaluasi Sumber; [20] Menggunakan Sumber; [21] Plagiarisme & Integritas Akademik.

Penasaran mau tahu sesuatu? Untuk keterangan lebih lanjut tentang Kuliah Profesor Idiot, simak saja halaman Informasi. Alternatif lain, silakan hubungi aku.

Salam idiot,
Musa Mustika

17 komentar:

  1. ALAH BISA KARENA BIASA...
    banyak yang bilang "bisa karena biasa", menurutku "ya". tapi tak sepenuhnya.
    contoh : seorang pemain sulap yang bisa bermain sulap tanpa di dampingi guru sulap langsung (bisa karena belajar online atau membaca buku) akan berbeda permainan sulapnya dengan yang belajar langsung dengan didampingi guru. walaupun sama-sama tetap bisa, ya,, paling kelihaian, keluwesan atau cara-cara bermain triknya saja yanng membedakan. berarti tetap berbeda antara yang "bisa karena biasa" dengan "bisa karena benar-benar bisa".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masukannya bagus. Saya suka. Tapi saya merasa masih kurang jelas. Dapatkah pak/mas Adya beri contoh konkret perbedaan yang gamblang antara yang "bisa karena biasa" dengan "bisa karena benar-benar bisa"?

      Hapus
    2. Mas Adya, pendapat para ahli psikologi berlainan mengenai manakah yang "bisa karena benar-benar bisa". Menurut aliran behavioris, seingatku, yang benar-benar bisa itu ya yang "alah bisa karena biasa". Apakah ingatanku ini benar ataukah keliru, kita akan mengkajinya di matakuliah Psikologi Umum, terutama bab "Pembelajaran" (Learning). Walau tidak terdaftar di jurusan psikologi, mas Adya bisa mengintip kuliah2nya nanti di psikoc.blogspot.com

      Hapus
    3. Mba Ma Sang-ji, menurutku contoh diatas cukup jelas ya.! atau mungkin penafsiran seseorang yang berbeda-beda ya. jadi begini, ketika seorang mengetahui bahwa ia mengidap satu penyakit, lalu dia memeriksakan diri ke Dokter umum. ternyata kata Dokter harus ada tindakan lebih lanjut (operasi misalnya). dokter itupun memberi rujukan untuk ke Dokter ahli bedah. dari sini cukup jelas bahwa Dokter umum itu yg "bisa karena biasa", karena ia tahu bahwa pasien terkena penyakit yg kronis, tetapi tidak bisa menangani lebih lanjut. dan memberi rujukan kepada Dokter ahli yg "bisa karena benar-benar bisa" untuk menangani si pasien. begitu menurutku.

      Hapus
  2. Menarik! Unsur-unsur edukatifnya sangat terasa. Setidak-tidaknya, halaman pertama di blog LABORATORIUM KOMUNIKASI ini tampak merangsang kita untuk menyarankan beberapa perbaikan dalam pembelajaran kita ini. Jadi, sebagai mahasiswa idiot, saya merasa terundang untuk mengusulkan penyempurnaan desain:
    1. Tambahkan gambar supaya lebih menarik. Misal: gambar kover buku referensi matakuliah.
    2. Penampilan tulisan di bagian kutipan perlu lebih kontras supaya lebih nyaman di mata pembaca.
    3. Sunting bagian penutup halaman, yaitu "Catatan", agar "gong" dramatisnya lebih terasa.
    4. Tambahkan beberapa taut di sidebar untuk lebih menonjolkan fungsi laboratorium komunikasi & penulisan. Misal: kamus baku bahasa Indonesia, kamus standar bahasa Inggris, dan berbagai fasilitas pembelajaran lain.
    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. You're welcome. Usulan mbak Ma kuterima dg sukacita. Oke. Aku pun senang bila bisa lakukan perbaikan sedikit demi sedikit, seiring dengan berjalannya waktu. Thank you. :)

      Hapus
  3. Apakah argumen harus selalu menggunakan "bahasa" sebagai alatnya, ataukah dapat menggunakan yg lain seperti gerak tubuh, mimik dan lain lain. Lantas bagaimana seandainya bila bahasa yg kita gunakan berbeda dengan orang yang hendak kita hadapi, misalnya satu menggunakan bahasa Indonesia, satu lagi menggunakan bahasa Inggris, dapatkah argumentasi dijalankan? Mohon pencerahannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari judul buku referensi, Everything's An Argument (Segala Sesuatu Itu Argumentasi), bisa ditebak bahwa argumentasi tidak harus selalu menggunakan "bahasa" sebagai alatnya. Lalu, karena tidak harus selalu memakai bahasa, kita masih dapat saling berargumentasi walau berbeda bahasa.

      Hapus
  4. Saya belum pernah menulis lebih panjang dari beberapa paragraf dan itupun lebih banyak sebagai respons atau reaksi atas tulisan orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagiku, menyampaikan tanggapan merupakan cara termudah untuk menulis. Inilah salah satu "rahasia"-ku mengapa aku bisa menulis "sebanyak-banyaknya". Hampir semua tulisanku, termasuk yang berujud buku, merupakan tanggapan terhadap sesuatu.

      Hapus
  5. Argumen lebih merupakan seni untuk mendrive orang lain sesuai dengan kepentingan kita, yang metoda dan bentuknya memiliki karakter sesuai konteks dan tujuan.

    BalasHapus
  6. Selamat sore,...Setuju dengan "Alah bisa karena biasa" karena seperti pepatah "tresno jalaran soko kulino", maka sesuatu itu harus dibiasakan dan lama-lama pasti bisa. Memang tidak semua memiliki kemampuan yang sama dan kecepatan memahami yang sama, jadi ya kalau memang tidak biasa ya tidak akan bisa. Terima kasih.

    BalasHapus
  7. Bagaimanapun menulis bukan sekedar menderetkan kata - kata sesuai struktur bahasa. Ia adalah pikiran, ide atau tepatnya salah satu bentuk argumen yang disusun sedemikian rupa untuk membawa misi penulisnya. Kalau kita dihadapakan pada pertanyaan bagaimana memulai menulis, menurut saya menulis membutuhkan sebuah ide atau tepatnya argumen. Ide muncul dar informasi yang masuk ke sistem penginderaan kita, setelah dicerna, dipahami dan diolah ia memicu respons kita. Respon bisa berupa persetujuan, penolakan atau bahkan keingin tahuan lebih jauh atas informasi itu, bahkan bisa juga berkembang membentuk pemahaman baru.

    BalasHapus
  8. Tepat. Aku sependapat. Begitulah penulisan sejati.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.